13 Maret 2008
Indo Pos
SURABAYA - Prospek industri sektor riil masih dikhawatirkan oleh para banker. Karena itu, bank memilih mengoreksi target pertumbuhan kredit. Apalagi, pertumbuhan industri sektor riil tahun ini diperkirakan menurun.Senior Economist BNI Ryan Kiryanto menyatakan, saat ini perbankan masih wait and see terhadap perkembangan perkonomian. Terutama setelah harga minyak dunia melampaui USD 100 per barel. Sebab ini akan berpengaruh terhadap kinerja sektor riil yang ujungnya berimbas pada kemampuan dunia usaha dalam membayar kredit."Bank follows industry. Jika industri turun, ruang ekspansi perbankan akan terbatas," sebutnya kemarin (12/3). Di tengah gejolak perekonomian, menurut dia, pertumbuhan pengucuran kredit tahun ini diprediksi mencapai 18-28 persen dari tahun lalu. Target tersebut lebih rendah dibandingkan target awal 22-26 persen. Menurut Ryan, penurunan target pengucuran kredit itu disebabkan oleh beberapa faktor. Yaitu belum kondusifnya dunia usaha akibat belum pesatnya sektor riil akibat realisasi persetujuan investasi BKPM belum optimal. Itu terlihat dari realisasi proyek dari 2002-2007 yaitu PMDN rata-rata 25 persen dan PMA sebesar 40 persen. "Tingkat risiko dunia usaha dan struktur pendanaan masih tinggi," jelas Ryan. Kendala kredit lainnya karena suku bunga relatif tinggi sehingga penyerapan kredit dunia usaha rendah. Hingga akhir Juni 2007, undisbursed loan perbankan mencapai Rp 127 triliun. Merosotnya pengajuan kredit juga akibat perusahan mencari pembiayaan alternatif luar negeri, sumber keuangan sendiri (self financing), atau menerbitkan obligasi.
Faktor lainnya akibat kurang tersedianya infrastruktur perbankan. Terutama ketersediaan informasi yang lengkap dan up to date terhadap sektor ekonomi dan industri yang prospektif dibiayai. "Contohnya, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dikatakan sunset padahal tidak semuanya lesu. Faktanya, sektor itu memberi kontribusi terbesar terhadap ekspor," terangnya. Dia menyebut, perbankan perlu mengevaluasi prospek industri case by case agar memahami kondisi yang sebenarnya. Untuk itu, perlu campur tangan pemerintah untuk mendorong agar suatu industri semakin tumbuh karena pembiyaan perbankan akan diarahkan kepada sektor-sektor yang dinilai prospektif. Dalam menghadapi penurunan industri, lanjut dia, perbankan perlu menggenjot fee based income. Meskipun demikian, pengucuran kredit harus tetap tumbuh. Selain itu, bank juga harus berinovasi, salah satunya dengan meningkatkan pembiyaan kredit ekspor karena kinerja ekspor yang naik signifikan. Perbankan juga harus melakukan efisiensi biaya operasionalnya. "Jika tidak, kinerja perbankan akan pas-pasan saja," katanya. (ina/fan)
Indo Pos
SURABAYA - Prospek industri sektor riil masih dikhawatirkan oleh para banker. Karena itu, bank memilih mengoreksi target pertumbuhan kredit. Apalagi, pertumbuhan industri sektor riil tahun ini diperkirakan menurun.Senior Economist BNI Ryan Kiryanto menyatakan, saat ini perbankan masih wait and see terhadap perkembangan perkonomian. Terutama setelah harga minyak dunia melampaui USD 100 per barel. Sebab ini akan berpengaruh terhadap kinerja sektor riil yang ujungnya berimbas pada kemampuan dunia usaha dalam membayar kredit."Bank follows industry. Jika industri turun, ruang ekspansi perbankan akan terbatas," sebutnya kemarin (12/3). Di tengah gejolak perekonomian, menurut dia, pertumbuhan pengucuran kredit tahun ini diprediksi mencapai 18-28 persen dari tahun lalu. Target tersebut lebih rendah dibandingkan target awal 22-26 persen. Menurut Ryan, penurunan target pengucuran kredit itu disebabkan oleh beberapa faktor. Yaitu belum kondusifnya dunia usaha akibat belum pesatnya sektor riil akibat realisasi persetujuan investasi BKPM belum optimal. Itu terlihat dari realisasi proyek dari 2002-2007 yaitu PMDN rata-rata 25 persen dan PMA sebesar 40 persen. "Tingkat risiko dunia usaha dan struktur pendanaan masih tinggi," jelas Ryan. Kendala kredit lainnya karena suku bunga relatif tinggi sehingga penyerapan kredit dunia usaha rendah. Hingga akhir Juni 2007, undisbursed loan perbankan mencapai Rp 127 triliun. Merosotnya pengajuan kredit juga akibat perusahan mencari pembiayaan alternatif luar negeri, sumber keuangan sendiri (self financing), atau menerbitkan obligasi.
Faktor lainnya akibat kurang tersedianya infrastruktur perbankan. Terutama ketersediaan informasi yang lengkap dan up to date terhadap sektor ekonomi dan industri yang prospektif dibiayai. "Contohnya, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dikatakan sunset padahal tidak semuanya lesu. Faktanya, sektor itu memberi kontribusi terbesar terhadap ekspor," terangnya. Dia menyebut, perbankan perlu mengevaluasi prospek industri case by case agar memahami kondisi yang sebenarnya. Untuk itu, perlu campur tangan pemerintah untuk mendorong agar suatu industri semakin tumbuh karena pembiyaan perbankan akan diarahkan kepada sektor-sektor yang dinilai prospektif. Dalam menghadapi penurunan industri, lanjut dia, perbankan perlu menggenjot fee based income. Meskipun demikian, pengucuran kredit harus tetap tumbuh. Selain itu, bank juga harus berinovasi, salah satunya dengan meningkatkan pembiyaan kredit ekspor karena kinerja ekspor yang naik signifikan. Perbankan juga harus melakukan efisiensi biaya operasionalnya. "Jika tidak, kinerja perbankan akan pas-pasan saja," katanya. (ina/fan)
No comments:
Post a Comment