4 Maret 2008
Bisnis.com
JAKARTA: Industri perbankan dalam negeri sudah waktunya mengubah paradigma pendapatan dari bunga bersih (net interest margin/NIM) menjadi pemasukan yang didapat dari layanan jasa atau fee base income. Pasalnya sejumlah korporasi publik saat ini sudah mulai giat membidik pembiayaan dari penerbitan obligasi. Hal itu jika tidak disikapi dalam lima tahun ke depan pendapatan dari kredit perbankan bakal tergerus. Kepala Ekonom BNI A. Tony Prasetiantono mengatakan perbankan luar negeri sudah memposisikan fee base income sebagai pendapatan utama dan NIM merupakan minoritas pemasukan. "Porsi fee base income bank luar negeri bisa sampai 80%-90%, tapi di kita baru 13%. Itu rata-rata nasional, nah ini yang harus dirubah," ujarnya dalam diskusi perbankan dan monoter Indonesia di Jakarta, hari ini. Menurut dia, masih tingginya NIM dalam mendongkrak pemasukan bank dalam negeri karena belum maksimalnya terobosan produk layanan jasa keuangan seperti ATM, pembayaran elektronik dan lainnya. Selain itu, lanjutnya, budaya di Indonesia selama ini penarikan uang di ATM tidak biasa dikenakan biaya. Padahal bank memberikan fasilitas tersebut mengeluarkan biaya investasi. "Kalau di luar negeri meski bank sendiri [bank pemilik ATM] tetap kena cash, tapi di kita belum biasa. Bisa-bisa bank lari ke bank lain yang tak kena biaya," ujarnya. Namun, lanjutnya industri perbankan bisa mulai melirik sektor lain yang bisa mendatangkan pemasukan baru bagi perusahaan, karena kalau tetap dipertahankan pendapatan bank bisa tergerus karena sejumlah korporasi saat ini banyak yang memilih pembiayaan obligasi. (dj)
No comments:
Post a Comment