Jakarta, Kompas - Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah menegaskan, BI menghadapi tantangan berat khususnya dalam pencapaian target inflasi. Untuk menjaga inflasi tetap terkendali sehingga kesejahteraan masyarakat tidak terkikis diperlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah dan BI.
Pernyataan Burhanuddin tersebut disampaikan setelah Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (6/3) di Jakarta. Salah satu respons yang diambil BI terhadap tingginya tekanan inflasi yaitu mempertahankan suku bunga acuan atau BI rate tetap 8 persen.
Menurut Burhanuddin, berlanjutnya peningkatan harga komoditas pangan dunia, secara nyata memberikan dampak terhadap inflasi domestik.
Inflasi indeks harga konsumen setahunan pada Februari 2008 mencapai 7,40 persen, yang sebagian besar disumbangkan oleh komponen makanan bergejolak. Inflasi inti, yang menggambarkan permintaan dan penawaran barang, juga cukup tinggi, yakni mencapai 7,33 persen.
Inflasi sangat berbahaya bagi perekonomian karena menurunkan nilai uang yang dipegang masyarakat. Dampaknya, kualitas hidup masyarakat akan merosot akibat turunnya daya beli.
Melihat tekanan inflasi yang amat tinggi, BI merevisi perkiraan inflasi tahun ini dari rata-rata 6 persen menjadi 6,5 persen.
”Perlambatan perekonomian global disertai peningkatan harga komoditas pangan dan energi serta kenaikan tekanan inflasi dunia diperkirakan akan dapat mendorong perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik dan meningkatkan tekanan inflasi,” tutur Burhanuddin.
Pertumbuhan ekonomi 2008 diperkirakan lebih rendah daripada proyeksi sebelumnya yang disebabkan oleh lebih rendahnya pertumbuhan ekspor, konsumsi swasta dan investasi swasta dibandingkan proyeksi awal.
Deputi Senior Gubernur BI Miranda Goeltom, pada seminar ”Implementasi Ekonomi Makro di Indonesia” di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Kamis (6/3), mengatakan, inflasi tidak akan turun jika harga minyak mentah dunia masih tinggi.
”Pemerintah dalam hal ini tidak bisa membiarkan ketiadaan regulasi sehingga pasar berkompetisi tanpa rambu-rambu yang jelas,” ujar Miranda.
Saat berbicara di Jakarta, Miranda mengatakan, langkah yang ditempuh BI untuk meredam inflasi, khususnya imported inflation, adalah mendorong penguatan nilai tukar rupiah.
Kurs rupiah bisa menguat, salah satunya karena meningkatnya aliran masuk modal asing, termasuk pada instrumen jangka pendek, seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN), dan saham.
Namun, Miranda menolak menjelaskan sampai level berapa BI akan mendorong penguatan rupiah.
Pengamat moneter Iman Sugema menilai, langkah BI memperkuat nilai tukar untuk meredam inflasi sebagai upaya yang mubazir.
”Kenaikan harga komoditas pangan dan energi global sejatinya tidak bisa dikendalikan bank sentral. Karena itu, daripada sibuk memperkuat nilai tukar dengan menyaring sebanyak-banyaknya aliran dana asing yang meningkatkan risiko sudden reversal, lebih baik turunkan suku bunga untuk mendorong perekonomian dalam negeri,” saran Iman Sugema.
Burhanuddin juga menjelaskan, cadangan devisa per akhir Februari 2008 mencapai 57,1 miliar dollar AS atau setara 5,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Kredit turun
BI juga melaporkan posisi kredit dan dana pihak ketiga (DPK) perbankan turun. Posisi kredit perbankan per Januari 2008 turun Rp 14,6 triliun (1,4 persen) menjadi Rp 1.031 triliun, terutama pada kredit modal kerja dan sektor perdagangan.
Adapun DPK turun 2,6 persen dari Rp 1.511 triliun per Desember 2007 menjadi Rp 1.471 triliun. Penurunan DPK yang lebih besar dibandingkan dengan kredit menyebabkan rasio kredit terhadap DPK (LDR) perbankan naik, dari 69,2 persen menjadi 70,1 persen pada Januari 2008.
Menurut Burhanuddin, fenomena penurunan kredit di awal tahun terjadi setiap tahun dan diperkirakan akan meningkat kembali pada Februari 2008.
Sementara itu Panitia Kerja (Panja) Asumsi Ekonomi Makro dan Penerimaan Negara dalam Rancangan APBN Perubahan 2008 telah menyetujui penetapan tingkat suku bunga acuan atau BI Rate pada level 7,5 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, keputusan BI untuk tidak menurunkan BI Rate dari level 8 persen merupakan kebijakan terbaik yang dilihat bank sentral untuk saat ini.
Menkeu menilai, keputusan BI itu merupakan penyesuaian atas risiko moneter terbesar yang berkembang saat ini.
Bertahannya BI Rate di level itu, kata Menkeu, menunjukkan pandangan BI yang menilai inflasi sebagai risiko terbesar saat ini, sehingga BI memandang suku bunga harus tetap tinggi.
”Inflasi tentunya menjadi salah satu faktor yang harus disikapi selama dua bulan ini. Namun, di sisi lain, keputusan itu pun tidak terlepas dari hubungan Indonesia dengan ekonomi luar negeri, perhatian difokuskan terutama pada kondisi aliran modal dan nilai tukar. Jadi kalau BI memutuskan suku bunga acuan tidak turun, itu adalah penilaian terbaik BI. Kita lihat sampai nanti akhir 2008,” ujarnya.
Mengurangi ekspektasi
Sri Mulyani menegaskan, asumsi nilai tukar dalam RAPBN-P 2008 telah diubah dari Rp 9.150 per dollar AS menjadi lebih menguat di level Rp 9.100 per dollar AS.
Kondisi tersebut diharapkan dapat mengurangi ekspektasi masyarakat terhadap inflasi atau pandangan publik bahwa harga barang akan naik di kemudian hari.
Jika ekspektasi inflasi menurun, maka diharapkan laju inflasi bisa ditekan. Jika inflasi bisa ditekan, maka akan memberikan ruang yang lebih luas bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan.
”Nanti kami lihat, kalau nilai tukar sudah ke posisi Rp 9.100 per dollar AS, maka pengaruhnya ke inflasi dan suku bunga juga akan dihitung,” ujarnya.
Saat ditanya tentang keputusan BI itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Boediono hanya berujar singkat, ”Saya mendukung keputusan itu.” (OIN/FAJ/A02/A11)
No comments:
Post a Comment